Inilah Seni Sastra Yang Dibagi Dua Menjadi Tulis dan Lisan

Inilah Seni Sastra Yang Dibagi Dua Menjadi Tulis dan Lisan – Seni sastra tak hanya berkaitan dengan sebuah tulisan namun dengan bahasa yang menjadi sarana untuk mengekspresikan sebuah pengalaman atau pemikiran tertentu. Oleh karena itu, seni sastra dapat dibagi menjadi dua, yaitu:

Seni Sastra Tulis

Seni sastra tulis adalah suatu bentuk karya sastra yang disajikan dalam sebuah bentuk tulisan, yakni kombinasi sebuah huruf yang memiliki makna atau arti. Banyak sekali jenis seni sastra tulisan yang berkembang di masyarakat, misalnya dalam bentuk prosa, puisi, cerita fiksi, dan essai. www.benchwarmerscoffee.com

Seni Sastra Tulis dan Lisan

a. Pujangga Lama

Karya sastra Pujangga Lama di Indonesia sudah ada sebelum abad ke-20. Pada masa sekarang karya sastra di Indonesia di dominasi oleh syair, pantun, gurindam dan hikayat. slot online

Biasanya menceritakan mengenai kehebatan ataupun kepahlawanan seseorang lengkap dengan keanehan, kesaktian dan mukjizat tokoh utama. Berbagai karya sastra pada masa pujangga lama misalnya yakni Hikayat Abdullah, Hikayat Andaken Penurat, dan Hikayat Bayan Budiman.

b. Sastra Melayu Lama

Sastra Melayu Lama merupakan karya sastra di Indonesia yang dilahirkan antara tahun 1870–1942, yang berkembang di kalangan masyarakat Sumatera seperti Langkat, Tapanuli, Padang dan area Sumatera lainnya, Cina dan masyarakat Indo-Eropa. Karya sastra pertama yang lahir sekitar tahun 1870 masih dalam bentuk syair, hikayat dan terjemahan novel barat. Beberapa contoh karya sastra Melayu lama yaitu Nyai Dasima oleh G. Francis (Indo), Bunga Rampai oleh A.F van Dewall, Kisah Perjalanan Nakhoda Bontekoe, Kisah Pelayaran ke Pulau Kalimantan, Kisah Pelayaran ke Makassar dan lain-lain

c. Angkatan Balai Pustaka

Karya sastra angkatan Balai Pustaka hadir di Indonesia sejak tahun 1920–1950, yang dipelopori oleh penerbit Balai Pustaka. Prosa (roman, novel, cerpen dan drama) dan puisi mulai menggantikan posisi syair, pantun, gurindam dan hikayat bagi sastra di Indonesia dalam masa kini. Balai Pustaka berdiri pada masa tersebut untuk mencegah pengaruh buruk dari bacaan cabul dan liar yang diciptakan oleh sastra Melayu rendah yang banyak memfokuskan kehidupan pernyaian (cabul) dan dianggap mempunyai tujuan politis (liar). Balai Pustaka melahirkan karya dalam tiga bahasa yakni bahasa Melayu-Tinggi, bahasa Jawa dan bahasa Sunda dan dalam jumlah terbatas dalam bahasa Bali, bahasa Batak dan bahasa Madura. Contoh karya sastra angkatan Balai Pustaka adalah Azab dan Sengsara, Seorang Gadis oleh Merari Siregar, Sengsara Membawa Nikmat oleh Tulis Sutan Sati, dan Siti Nurbaya oleh Marah Rusli.

d. Pujangga Baru

Pujangga Baru hadir sebagai jawaban atas banyaknya sensor yang dilakukan oleh Balai Pustaka terhadap karya tulis sastrawan pada zaman tersebut, khususnya terhadap karya sastra yang terkait rasa nasionalisme dan kesadaran kebangsaan. Sastra Pujangga Baru merupakan sastra intelektual, nasionalistik dan elitis menjadi “bapak” sastra modern Indonesia. Pada zaman itu, lahir juga majalah “Poedjangga Baroe” yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah dan Armijn Pane. Karya sastra di Indonesia setelah zaman Balai Pustaka (tahun 1930–1942), diawali oleh Sutan Takdir Alisyahbana. Karya sastra Pujangga Baru misalnya Layar Terkembang oleh Sutan Takdir Alisjahbana dan Belenggu oleh Armijn Pane. Makna Pujangga atau Bujangga adalah pemimpin agama atau pendeta. Namun, makna pujangga dalam pujangga baru adalah ”pencipta”.

e. Angkatan ’45

Pengalaman hidup dan gejolak sosial-politik-budaya menjadi pewarna karya sastrawan Angkatan ’45. Karya sastra angkatan ini cenderung realistik dibandingkan karya Angkatan Pujangga baru yang romantik-idealistik. Contohnya, Surat Cinta Enday Rasidin, Simphoni oleh Subagio Sastrowardojo, dan Balada Orangorang Tercinta oleh W.S.Rendra

f. Angkatan 66-70-an

Angkatan ini diawali dengan lahirnya majalah sastra Horison. Banyak karya sastra pada angkatan ini yang sangat bermacam-macam dalam aliran sastranya. Sastrawan pada akhir angkatan yang sebelumnya termasuk pula dalam kelompok ini misalnya Motinggo Busye, Purnawan Tjondronegoro, Djamil Suherman, Bur Rasuanto, Gunawan Mohammad, Sapardi Djoko Damono dan Satyagraha Hurip, Sutardji Calzoum Bachri, dan termasuk paus sastra Indonesia, H.B.Jassin.

g. Angkatan 80-an

Karya sastra di Indonesia dalam kurun waktu setelah tahun 1980, diawali dengan berbagai roman percintaan, dengan sastrawan wanita yang menonjol pada zaman itu yakni Marga T. Karya sastra Indonesia pada masa angkatan ini tersebar luas di banyak majalah dan penerbitan umum. Beberapa sastrawan yang bisa dikatakan Angkatan dekade 80-an ini misalnya Remy Sylado, Yudistira Ardinugraha, Noorca Mahendra, Seno Gumira Ajidarma, dan Kurniawan Junaidi.

Karya Sastra Angkatan Dasawarsa 80 contohnya Badai Pasti Berlalu, Cintaku di Kampus Biru, Sajak Sikat Gigi, Arjuna Mencari Cinta, Manusia Kamar, dan Karmila. Mira W dan Marga T merupakan dua sastrawan wanita Indonesia yang dikenal dengan fiksi romantis yang menjadi ciri-ciri novel mereka. Pada umumnya, tokoh utama dalam novel mereka adalah wanita. Berbanding terbalik dengan novel dari Balai Pustaka yang masih dipengaruhi oleh sastra Eropa abad ke-19 dimana tokoh utama selalu dimatikan untuk menunjukkan rasa romantisme dan idealisme, karya-karya pada era 80-an umumnya selalu mengalahkan peran antagonisnya.

h. Angkatan 2000-an

Sastrawan angkatan 2000 mulai menggambarkan keadaan sosial dan politik yang terjadi pada akhir tahun 90-an, seiring dengan jatuhnya Orde Baru. Proses reformasi politik yang diawali pada tahun 1998 banyak melatarbelakangi cerita novel fiksi. Utami dengan karyanya Saman yang merupakan sebuah fragmen dari cerita Laila Tak Mampir di New York. Karya ini menunjukkan awal bangkitnya kembali sastra Indonesia setelah hampir 20 tahun. Gaya penulisan Ayu Utami yang terbuka, bahkan vulgar, itulah yang menjadikannya menonjol dari pengarang-pengarang yang lain. Novel lain yang diciptakannya adalah Larung.

Seni Sastra Tulis dan Lisan

Seni Sastra Lisan

Seni sastra lisan disajikan dengan bahasa lisan , yakni dengan dituturkan secara langsung kepada si pendengar, dengan atau tanpa iringan musik tertentu.

Bentuk seni sastra lisan yang berkembang di Indonesia adalah sebagai berikut:

a. Mitos atau Mite

Mitos merupakan seni sastra bersifat religius, tetapi memberi rasio pada kepercayaan dan praktik keagamaan. Masalah utama yang dibahas di dalam mitos adalah masalah kehidupan manusia, asal mula manusia dan makhluk hidup lain, penyebab manusia di bumi, dan tujuan akhir hidup manusia. Fungsi mitos yakni memberi penjelasan mengenai alam semesta dan keteraturan hidup dan perilaku.

Mite yang ada di Indonesia umumnya bercerita mengenai proses penciptaan alam semesta (kosmogony), awal mula dan silsilah para dewa (theogony), pencitaan manusia pertama dan pembawa kebudayaan, awal mula makanan pokok (padi), dan sebagainya.

b. Legenda

Legenda adalah cerita yang bersifat semihistoris tentang pahlawan, terciptanya adat, perpindahan penduduk, dan selalu berisikan penggabungan antara fakta dan supernatural. Legenda tak banyak mengandung masalah, tetapi lebih kompleks dari mitos. Fungsinya adalah untuk memberi pelajaran, ajaran moral, meningkatkan rasa bangga terhadap suku bangsa atau moyangnya. Sebuah legenda yang lebih panjang berbentuk puisi atau prosa ritmis dikenal dengan epik.

c. Epik

Epik adalah cerita lisan yang panjang, biasanya dalam bentuk puisi atau prosa ritmis yang mengisahkan perbuatan-perbuatan besar dalam kehidupan orang yang nyata atau yang ada dalam legenda.

d. Dongeng

Dongeng adalah suatu cerita yang tak nyata dan tak historis yang fungsinya untuk memberi hiburan dan memberi pelajaran atau nasihat.